Sabtu, 28 Januari 2012

Antara Dulu, Sekarang dan Nanti

Aku cinta kamu, kamu cinta dia, dan dia masih diantara dulu, sekarang, dan nanti.
***
“ Yeeee lulus...gue lulus SNMPTN “ sorakku kesenangan tak terhingga. Maklum karena ini pertama kalinya aku bisa membanggakan orang tuaku dengan lulus di salah satu universitas negeri ternama di Indonesia.
aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sosok yang selama ini selalu ku simpan di dalam hatiku.
“ Ry lulus gak ? “ tanya ku pada DIA .
“ lulus Shell tapi...” katanya memperlihatkan wajah sedih.
“ kenapa Ryan ? “ tanyaku.
“ Fina lulus diluar, berarti dia bakalan pergi, gak bisa sama lagi donk...hahaha “ tawanya yang sangat tampak dipaksakan. Hatiku padam, harus kuakui selama ini aku menyukai orang yang telah dimiliki orang lain. Tapi, tak pernah, tak pernah sekalipun aku berniat mengganggu apalagi berusaha memisahkan mereka, cinta diam-diam yang selama ini ku simpan di dalam hatiku kubiarkan begitu saja bak aliran air yang mengalir mengikuti arus.
“ sabar ya Ry...” kataku yang sama sekali tak mau kelihatan munafik, walau aku tak tahu dia tahu aku menyukainya atau tidak. Dan dia hanya tersenyum lirih.

***
Seminggu setelah kelulusan, aku bertemu dengan dia di sekolah untuk mengabarkan kelulusan kami kepada guru-guru yang telah berjasa mengajari kami selama ini.
“ Ry...kita daftar ulang barengan ya...” kataku padanya, kebetulan kami di universitas yang sama.
“ oke “ katanya yang nampak tak bersemangat.
“ ehm...loe baik Ry ? “ tanyaku .
Dia melirikku sebentar dan menghela nafas. “ gue putus sama Fina, kami sepakat kalo LDR susah buat dijalani. “
Aku ‘speechless’ bingung harus sedih atau senang. Senang karena dia sendiri sekarang, tapi sedih karena aku tak melihat lagi pancaran sinar mata dan senyumannya seperti saat dia bersama Fina.
Aku genggam tangannya, “ tenang masih ada orang disekitar loe kok “ kataku.
Dia tersenyum, dan bagiku itu sudah cukup.

***
6 bulan setelah kuliah semuanya berjalan dengan lancar, baik dalam hal perkuliahan ataupun dengannya.  Aku bisa mengikuti mata kuliah dengan baik dan dengan nilai yang cukup memuaskan. Di satu sisi aku yang satu jurusan dengan dia juga semakin dekat. Dia tak pernah sekalipun mengeluh tentang Fina lagi. Dan kedekatan kami membuat cinta diam-diam ku ingin meledak, hingga suatu hari... aku tak pernah membayangkan mengatakan hal ini padanya.
“ Ry...gue mau ke toilet dulu ya...” kataku setengah berlari menuju toilet umum.
“ Shell dompet loe dimana ? “ teriaknya padaku, tapi aku tak sempat menjawab dan langsung masuk ke toilet.
Saat aku balik, aku sangat terkejut dengan pemandangan yang ada di depanku. Dia sedang membaca buku kecilku yang isinya, aku tahu persis adalah perasaanku padanya. Dia mengangkat kepalanya saat menyadari aku berdiri terpaku dihadapannya.
“ loe suka ma gue ? “ katanya tanpa basa-basi.
Kakiku lemas dan langsung terduduk dihadapannya, tak tahu apa yang harus dikatakan.
“ loe...” belum sempat dia melanjutkan perkataannya, aku langsung memotong
“ iya, gue suka ma loe “ kataku padanya. Sebenarnya saat itu aku linglung tapi juga ingin meledak dan mengeluarkan apa yang aku pendam selama ini. Dia diam, aku juga diam.
“ oke, gimana kalo kita jalani aja ? “ katanya tiba-tiba yang sukses membuat jantungku berdetak kencang.
“ maksudnya ? “ tanyaku.
“ iya, kita jalani aja, kita jadian “ katanya kemudian.
“ se..serius ? “ kataku tak percaya
“ iya, bukannya selama ini kamu yang selalu ada di dekat gue, dan gue akan berusaha untuk  lebih cinta  sama kamu “ katanya yang tiba-tiba langsung memanggilku dengan sebutan ‘kamu’. Saat itu aku tahu dia belum bisa melupakan Fina, dan kata ‘berusaha lebih cinta’ aku artikan bahwa dia belum bisa memberi cintanya bahkan 60% padaku, tapi itulah cinta memang kadang tak berlogika, maka aku menerima begitu saja dengan  “background” cinta diam-diam ku menjadi kenyataan, dan beranggapan bahwa itu wajar berharap dia bisa melupakan kata ‘mantan’.

***
Setelah hari tu hanya satu kata yang mengiringi hariku ‘bahagia’ . Bahagia saat mengirim pesan singkat ke ponselnya, bahagia saat duduk  di sampingnya, dan sangat bahagia saat dia mengakuiku sebagai pacarnya di depan teman-temannya. Aku tak tahu apakah ini mempunyai arti penting di mata lelaki, tapi kami sebagai wanita menilai ini penting, karena yang kami butuhkan adalah sebuah kepastian. Hanya satu yang membuatku bimbang, aku... tak menemukan sinar matanya, sinar seperti saat dia memandang Fina, aku tak temukan itu saat dia memandangku, hanya itu saja. Hingga...hal yang tak kuharapkan datang, semuanya berubah saat ‘sang mantan’ kembali. Fina kembali dan memutuskan untuk kuliah di kota ini. Fina kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta yang menjanjikan, alasan kepindahannya menurut mereka, salah satunya karena Fina masih mencintai mantannya alias orang yang saat ini sah menjadi pacarku. Alasan yang membuat hatiku sangat ngilu, dan jujur saja takut, takut karena kisahku dan dia akan berakhir secepat ini.

***
Dua minggu setelah kepulangan Fina, dia berubah 180 derajat dan menjadi pendiam, walaupun terkadang dia masih membuatku tertawa dengan leluconnya. Aku benci kondisi seperti ini, benci ketidakpastian semacam ini. Benci karena rasa takutku, dan rasa cemburuku yang membakar seluruh hal positif di dalam pikiranku, tapi aku tak berani bicara dengannya bahkan sedikitpun tak pernah kusentuh pembicaraan tentang Fina, hingga akhirnya dia sendiri yang membuka pembicaraan ini denganku, dan ini lah hal yang paling aku takutkan untuk mendengar keputusannya secara tidak langsung.

Kami duduk di kursi panjang tepat di bawah pohon rindang yang dikelilingi rumput ilalang yang indah.
“ gue sebenarnya beberapa hari ini ketemuan sama Fina “ katanya memulai. Hatiku langsung menyusut .
“ jujur gue gak tau harus gimana, karna gue masih sayang sama dia.” Tambahnya lagi. Aku menahan air mataku di ujung mata.
“ tapi gue juga gak bisa ninggalin loe, karna gue yang minta kita buat jadian, gue egois, maaf “ katanya lirih yang sekarang sudah memanggil gue dengan sebutan ‘loe’.
Aku masih diam, berusaha keras untuk tidak menangis.
Saat itu aku teringat semua hal di masa lalu, teringat saat dia menyapa ku, teringat saat daftar ulang bareng, teringat saat kerja kelompok bareng, teringat saat dia bilang kami jadian, teringat saat tertawa, bercanda, apa semua itu palsu ? enggak !!! aku enggak mau melepas dia. Aku langsung menoleh ke wajahnya dan memandanginya, kemudian aku menghela nafas.
“ yaudah kita putus “ kataku bulat tetapi hancur.
“ serius ? “ katanya bahkan tidak mengatakan “kenapa ? “.
Aku mengangguk, “ mungkin ini yang terbaik “ kataku kemudian.
Aku tahu dia memandangi dengan perasaan bersalah atau perasaan yang lain. Aku bangkit dari kursi dan berusaha tersenyum di depannya sambil mengacungkan tanganku bermaksud untuk menyalaminya. Dia bangkit dan membalas salamanku, kami bersalaman beberapa saat.
“ mulai sekarang kita temanan ya, dan semuanya harus tetap normal kayak dulu “ kataku masih dengan senyum yang dipaksakan.
Dia masih diam dan hanya memandangiku. Aku berbalik arah dan akan meninggalkan tempat itu.
“ kenapa ? kenapa loe ngelepas gue ? “ katanya sebelum aku benar-benar pergi dari tempat itu.
Aku diam sesaat dan harus menarik nafas dulu agar air mataku tidak tumpah.
“ beberapa menit yang lalu, gue juga gak mau ngelepas loe, gue mau mempertahankan loe, tapi...pas gue memandang wajah loe, gue gak bisa ngeliat pancaran sinar di mata loe kayak dulu. Pancaran sinar itu cuma buat fina dan mungkin gak akan pernah buat gue. Gue...suka sama loe pertama kali karna ngeliat sinar tulus di mata loe, dan gue mau ngeliat sinar itu lagi, meski itu bukan buat gue. “ kataku lirih
“ shell... “ katanya  
“ tapi tenang aja kok, gue bakal ngasi cinta ini ke orang yang memberikan pancaran sinar itu ke gue, jadi  kita bakal sama-sama bahagia kan...” kataku.
bayangkan gimana hancurnya aku saat itu, melepas orang yang benar-benar aku sayangi demi kebahagiannya sendiri. Rasa hancur ini sulit buat diungkapkan dengan kata-kata seperti sebagian mozaik kehidupan hilang, aku harus mengatakan ini didepannya dan berjalan pergi tanpa menoleh kewajahnya hanya membawa sisa-sisa kenangan yang ada. Hari itu, hari dimana aku menangis sejadi-jadinya dan membiarkan diriku terbenam dalam kesedihan yang mendalam. Keputusan besar ku ambil dalam diriku, melepas orang yang kucintai dan memberikan cinta ini kepada orang yang mencintai ku. Aku akan menangis dan itu pasti, tapi aku juga akan bahagia dengan orang yang memberikan sinar mata tulus itu kepadaku. Tuhan tidak memberi kita sesuatu yang diinginkan tetapi sesuatu yang kita butuhkan. Cinta sulit untuk dipaksakan begitu juga kisah kami, dan aku akan mencari kisahku sendiri.